Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Filosofi Cinta

15 Februari 2020   06:45 Diperbarui: 15 Februari 2020   06:49 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saatnya berbicara tentang cemara, yang dari kulai daunnya terlihat telah melewati sekian banyak badai. Dan pokok kamboja yang termangu, memandangi tanah basah bekas hujan semalam, di mana bunganya yang gugur, diziarahi oleh kumbang dan kupu-kupu. Satu demi satu.

Pagi bercakap kepada dirinya sendiri. Membiarkan angin yang lewat mulai menerangi jejak matahari. Udara dingin beranjak menyusup pori-pori, beberapa macam bunga yang sulit dilafal namanya. Namun mudah dikenal setelah menyiarkan wanginya.

Langit seperti helai kertas yang sedikit pias. Siap ditulisi apa saja. Terutama filosofi cinta. Bagi siapapun yang pernah merasakan kejatuhannya, maka harus bersiap pula menghadiri pemakamannya.

Beginilah rupa mosaik dunia saat mulai menyapa orang-orang yang baru terjaga maupun insomnia. Disajikan secara utuh di beranda. Tanpa membeda-bedakan. Apakah dia tuan, atau seorang kuli bangunan.

Bogor, 15 Februari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun