Sepiring hujan disajikan secara sederhana. Di sebuah meja perjamuan yang dikelilingi berbagai tatapan. Tanpa percakapan. Hanya pendar mata pudar, dan keping kenangan beterbangan. Seperti kunang-kunang. Di musim cuaca yang kekurangan cahaya.
Ditata sedemikian rupa. Hingga menyerupai hidangan prasmanan. Dilengkapi potongan rembulan mati. Dan sisa-sisa serpihan matahari. Tanpa nyala api.
Â
Siapakah yang sedang jatuh cinta? Duduklah di sebelah kanan. Di sana otakmu menyusun serangkaian episteme romantika. Berkubang di dalamnya, lalu berkabung setelahnya. Ketika menemui rupa-rupa sandyakala. Seringkali memalingkan muka.
Siapakah yang diamuk patah hati? Duduklah di sebelah kiri. Di sini terlihat rongga dadamu berlubang sebesar kepundan. Bekas letusan rencana yang berantakan. Saat kisah demi kisah, tenggelam dalam buku-buku yang hanya tersusun dari bab-bab gelisah.
Sepiring hujan tertumpah. Di tengah-tengah huru hara kecemasan. Apakah malam ini, masih ada mimpi yang seluruh episodenya baik-baik saja? Atau esok pagi, terjaga dengan sudut mata disandera oleh dinginnya udara, karena kehabisan airmata?
Bogor, 25 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H