Seorang perempuan. Menitipkan matanya kepada hujan. Agar bisa melihat seberapa kedalaman jurang, seluas apa ujung ke ujung lautan, dan sesempit apa lubang kuburan.
Ia ingin tahu. Apakah selama ini penglihatannya keliru. Jurang baginya adalah rahasia paling kelu. Lautan adalah pusat misteri dari rasa ngilu. Dan kuburan adalah tempat terbaik untuk memakamkan masa lalu.
Hujan. Bisa pergi kemana-mana. Mengembarai apa saja. Dan menyentuh siapapun juga. Menuruni jurang, mengukur luas lautan, dan membasahi batu nisan, adalah beberapa perhentian dari sekian perjalanan yang harus dilakukan. Sebelum matahari menjadikannya serpihan.
Seorang perempuan. Mengirimkan senyuman paling pagi kepada langit. Yang dititipkannya pada permukaan kabut. Agar luka hatinya cepat tercerabut. Oleh kepergian sandyakala, kedatangan purnama, dan kemunculan kejora.
Ia sama sekali tak ingin tahu. Apapun itu. Sampai kapan pikirannya disandera sandyakala, purnama tiba hanya untuk menyampaikan telah kehabisan cahaya, atau kejora sebentar saja sempat singgah di jendela rumahnya.
Langit. Sumbu dari sekian banyak rasa sakit. Menjadikan halilintar sebagai utusan hujan. Agar ritual penyembuhan dari kepahitan masa silam, bisa selalu diupacarakan. Hingga tiba saatnya seorang perempuan, yang mempertanyakan mata dan senyumannya, tak lagi bermuram durja.
Di senja yang sangat bersahaja.
Bogor, 19 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H