tidak di tengah gulitanya malam
yang membuat segenap rasa sunyi jatuh tenggelam
tidak pula pada pagi hari
ketika awal mula kejadian tergelincirnya cahaya matahari
bahkan tidak di puncak dinihari
saat kerumitan berubah sederhana
dan kesederhanaan menjelma jadi tubuh yang sempurna
tapi manakala seorang lelaki
keluar dari rahim api
menatap dunia dengan matanya yang menyala
berniat membakar apa saja
yang telah meruntuhkan begitu banyak cinta
cinta terhadap langit dan menjadikannya atap terbuka
bukannya membubungkan rasa sakit yang membuat luka
cinta terhadap bumi dan menahbiskannya sebagai kekasih hati
bukannya malah menikamnya dengan karat belati, berkali-kali
cinta terhadap lautan dan menuliskan badainya sebagai karya sastra
bukannya menebar jala sekaligus bisa, tanpa sedikitpun jeda
lelaki itu menjaring sisa-sisa awan
mengumpulkan hujan
lalu meletakkannya di dalam tempayan
tempatnya menyimpan cita-cita
bahwa dunia akan baik-baik saja
lelaki ini, yang terlahir dari rahim api
memandangi setiap jengkal tanah yang terus menerus terlukai
merasakan debar di jantungnya berhenti
mungkin inilah saat yang tepat untuk harakiri
membunuh semua rasa sepi
bersama hatinya yang parah tercederai
Jakarta, 16 Januari 2020
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI