Seorang perempuan. Mengayuh rembulan di matanya yang berkaca-kaca. Diarunginya langit malam. Dengan berbekal buku yang berisi kalimat-kalimat kelam. Tentang purnama yang disepuh kegelapan. Juga bintang-bintang yang tenggelam dihela berbagai macam kekhawatiran.
Satu pokok cemara. Menjadi saksi ketika rembulan kemudian padam. Apinya tertiup cuaca yang sedang berdrama. Menampilkan kisah dan cerita yang terlalu banyak berbicara. Namun tanpa sepatahpun kata-kata.
Sepotong dinihari. Menjatuhi hati seorang lelaki. Dari tatapannya yang lebih muram dari kaca yang diburamkan hujan, keluar bergumpal-gumpal keributan. Tak terima purnamanya tertikam mendung hitam. Namun menerima dengan lapang dada saat langit memberikan sesungguhnya alasan.
Katanya purnama sedang menyelam ke dasar samudera. Di sana, ada sebuah istana. Tempat para pertapa enggan menyudahi doa-doa. Terus mengalir memenuhi rumpang udara. Menuju perbatasan jiwa yang belum rampung membangun kewarasan. Setelah gila oleh begitu banyaknya kecemasan.
Katanya lagi, purnama sedang melenyap dalam senyap. Hampir sebagian besar cahayanya telah dikudap. Oleh mulut-mulut omnivora. Dengan lidah bermetafora. Untuk menghidupkan lampu. Agar bisa menerangi segenap masa lalu.
Bagi mereka, purnama adalah sajian makan malam. Pada perjamuan yang diadakan setiap bulan. Untuk ritual berbagi kerinduan. Pada apa yang disebut kenangan.
Bogor, 13 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H