Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Hilangnya Purnama di Langit yang Bermetafora

13 Januari 2020   00:27 Diperbarui: 13 Januari 2020   01:21 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seorang perempuan. Mengayuh rembulan di matanya yang berkaca-kaca. Diarunginya langit malam. Dengan berbekal buku yang berisi kalimat-kalimat kelam. Tentang purnama yang disepuh kegelapan. Juga bintang-bintang yang tenggelam dihela berbagai macam kekhawatiran.

Satu pokok cemara. Menjadi saksi ketika rembulan kemudian padam. Apinya tertiup cuaca yang sedang berdrama. Menampilkan kisah dan cerita yang terlalu banyak berbicara. Namun tanpa sepatahpun kata-kata.

Sepotong dinihari. Menjatuhi hati seorang lelaki. Dari tatapannya yang lebih muram dari kaca yang diburamkan hujan, keluar bergumpal-gumpal keributan. Tak terima purnamanya tertikam mendung hitam. Namun menerima dengan lapang dada saat langit memberikan sesungguhnya alasan.

Katanya purnama sedang menyelam ke dasar samudera. Di sana, ada sebuah istana. Tempat para pertapa enggan menyudahi doa-doa. Terus mengalir memenuhi rumpang udara. Menuju perbatasan jiwa yang belum rampung membangun kewarasan. Setelah gila oleh begitu banyaknya kecemasan.

Katanya lagi, purnama sedang melenyap dalam senyap. Hampir sebagian besar cahayanya telah dikudap. Oleh mulut-mulut omnivora. Dengan lidah bermetafora. Untuk menghidupkan lampu. Agar bisa menerangi segenap masa lalu.

Bagi mereka, purnama adalah sajian makan malam. Pada perjamuan yang diadakan setiap bulan. Untuk ritual berbagi kerinduan. Pada apa yang disebut kenangan.

Bogor, 13 Januari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun