Aku tidak perlu mengais sisa-sisa reruntuhan airmata seorang perempuan untuk tahu apa yang sedang dia rasakan. Aku hanya perlu menangkap sudut dari derajat matanya. Apakah menghunjam tajam di keriput wajah malam, atau berbalik menantang dengan menciptakan kilatan belati yang mematikan.
Aku tidak usah mengira-ngira di mana letak hati seorang lelaki yang sengaja memerangkap dirinya bersama dinihari untuk memahami kenapa dia menulisi udara menggunakan api.
Aku cuma butuh bercermin di kaca yang diretakkan runcingnya cuaca. Apakah raut muka yang dipantulkan serupa sandyakala, atau justru setegas horison yang dihadirkan matahari kala bercumbu dengan cakrawala.
Aku, serpihan terkecil dari mimpi yang terlahir saat malam dibutakan oleh kerinduan. Kepada Tuhan yang tak pernah tertidur dan selalu menumbuhkan kembali daun-daun yang terlanjur gugur.
Kepada sketsa wajah yang telah selesai kulukis di kanvas yang terobek-robek kisah romantis. Dan kepada pepohonan yang membiarkan sepasang murai bercinta di rantingnya yang baru saja menyemai bunga-bunga.
Aku, punya nama tengah kekacauan. Berasal dari sajak-sajak pias yang kutulis di atas helaian kertas berhamburan. Sajak-sajak yang melupakan batas akhir dari lahirnya takdir. Lalu tumbuh dewasa di atas permukaan air. Hanyut bersamanya. Sampai ke muara. Lalu mengendarai buih pertama. Yang dikirimkan oleh jantung samudera.
Aku, menetaskan puisi-puisi basi di tengah badai yang enggan berhenti. Di dindingnya yang terguncang-guncang, aku melepaskan bait-baitnya yang ingin pulang. Ke haribaan waktu senggang. Sebelum ditelan habis-habisan di ruang-ruang jalang.
Jakarta, 8 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H