Berbicara tentang cuaca, adalah bicara spektrum cinta. Begitu banyak warna yang dituang di dalam gelas bejana. Diaduk sebagai reaksi berantai. Mulai dari mata badai, hingga pantai berangin sejuk yang landai.
Aku dan kau adalah sepotong kecil remah roti. Di jalan setapak menuju gunung yang melahirkan kabut pagi. Kita membuat begitu banyak rencana mendaki menuju puncaknya. Tapi lupa bahwa jalan ke sana sangat licin dan berbahaya.
Di antara kemarau yang menjadi rahim bagi kelahiran gurun Sahara, juga di sela-sela gemuruh hujan yang menjadi ibunda dari sekian banyak sungai dan samudera, kita berlagak menjadi tuan dan nyonya bagi semua. Meminta terlalu banyak, lalu melukai melebihi kehendak.
Aku dan kau sesungguhnya hanya sekeping malapetaka yang merubah segala hal menjadi masuk akal. Termasuk bagaimana menciutkan sungai menjadi emperan, menimbun lautan dengan tanah-tanah yang digali dari bumi yang kesakitan, melubangi langit dengan mata panah beracun mematikan.
Jadi bagaimana caranya berbicara cinta terhadap cuaca jika mata kita dipenuhi libido angkara? Mulut kita bercakap-cakap tentang kekuatan birahi untuk menggagahi tubuh bumi? Dan hati kita berkecamuk dalam amuk tak berkesudahan mengenai cara membuat langit merasa sepi?
Tidak ada cara lainnya. Kecuali kita paham apa itu spektrum cinta dalam merindukan aroma cuaca.
Jakarta, 3 Januari 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H