Almanak meruntuhkan angka demi angka, yang dilahirkan rahim rembulan, secara berkala, berikut dengan rencana, dan segenap kegagalannya.Â
Di dalamnya, hari-hari mesti dilewati, terkadang melalui pagi yang bersedih, siang yang murung, dan malam yang cukup beruntung. Karena hujan yang berkunjung, membawa begitu banyak berita menyenangkan. Tentang aroma bunga, dipetik dari tangkai yang gembira. Oleh angin yang juga bersukacita.
Dunia sedang berdamai dengan badai. Kalaupun ada kekacauan, itu hanyalah di sudut-sudut ngarai. Tempat paling rahasia, ketika patah hati tidak ada dalam rencana, tapi ternyata ada, sebagai bagian dari siklus hati yang tercerai berai.
Almanak mengganti wajahnya yang cukup lelah. Dengan memberikan beberapa pengumuman bernada gelisah. Apabila pada angka-angka berikutnya, hari-hari selanjutnya, dan purnama setelahnya, ternyata masih banyak kecemasan, maka disarankan agar orang-orang ikut mengganti raut muka, dengan senyuman selebar samudera.
Niscaya, semestinya, dunia akan baik-baik saja. Kecuali jika memang kita masih punya banyak sisa tenaga. Untuk saling bertengkar, bertukar kabar makar, lalu mengambil keputusan-keputusan yang hingar-bingar. Pada setiap linimasa berbelati yang akhirnya jadi pandemi. Menimbulkan rasa sakit yang mencederai ulu hati. Sekaligus menciptakan kerusuhan, di hari yang telah begitu sepi.
Jadi, tahun boleh berganti. Tapi, almanak tetap akan jadi ibunda yang baik hati. Menyusui, merawat, dan membesarkan hingga dewasa, setiap dari kita yang sebagiannya lantas bertingkah durhaka. Menjadi sengkuni, duryudana, atau dorna.
Begitu durjana.
Bogor, 28 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H