Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Melodi, Memento Mori, dan Kolase Hati

25 Desember 2019   21:31 Diperbarui: 27 Desember 2019   17:52 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://images.pexels.com

Hujan dirayakan di mana-mana. Dari setiap serakannya, orang-orang mengumpulkan kenginan yang sebelumnya tersangkut di bibir langit. Bersama doa-doa tentang rasa sakit. Yang setiap hari berhamburan mengangkasa. Memohon dan meminta. Tapi lupa bahwa Tuhan sesungguhnya adalah sesembahan. Bukan suruhan yang seenaknya disuruh memunguti setiap ceceran permintaan. Kemudian memaksa dengan ritme tangisan agar dikabulkan.

Kita memang terlalu mengada-ada. Tawar menawar dengan Tuhan seolah sedang berada di tengah pasar. Membeli kebutuhan tapi lupa membayar. Sebab kita selalu mengira Tuhan Maha Pemurah. Sehingga kita dengan seenaknya memeras doa seperti sapi perah.

Pada setiap hujan yang tiba dengan berirama. Sebenarnya ada nada-nada tersembunyi. Dalam bentuk melodi, memento mori, dan kolase hati.

Melodi yang ditampilkan sangat mendayu. Seolah memberikan waktu. Bagi kita untuk mengingat lupa. Di ruang-ruang kepala yang selama ini kita biarkan amnesia.

Memento mori adalah pengingat paling tepat agar kita tidak hadir terlambat. Pada saat pelajaran kemanusiaan. Bagaimana merawat hidup dan seperti apa memelihara kematian.

Kolase hati disusun secara hati-hati. Dari kepingan kisah yang telah dilalui. Untuk kemudian diaransemen ulang. Sebagai lagu-lagu tentang rencana perjalanan, jadwal pulang, dan menemukan kembali apa yang telah hilang.

Di malam ketika hujan Desember nyaris berakhir. Kita lagi-lagi memerangkap diri dalam insomnia yang kita anggap sebagai takdir.

Padahal sesungguhnya kita sengaja mengasingkan diri pada ribuan syair. Agar kita tak merasa bersalah telah menjadi sedemikian pandir.

Bogor, 25 Desember 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun