Dulu aku pernah menulis kota yang melarikan diri dari bergelas-gelas wiski, menenggak obat tidur dengan dosis melebihi tinggi, lantas tergeletak di salah satu tanggal almanak, sebagai kota mati.
Aku mau menuliskan hal lain tentang kota yang hidup kembali setelah berjumpa dengan begitu banyak orang yang memintanya menjadi ibunda, berduyun-duyun ingin menyusu karena leher tercekik dahaga, kemudian terlelap di antara payudaranya.
Kota adalah kekaisaran yang membangun keangkuhan di antara kelembutan. Kerajaan yang menyisakan dinding-dinding kusam agar orang bisa menggambar mural tentang harapan. Lalu tertawa terbahak-bahak. Saat kecemasan tumpah ruah sebagai dahak.
Semenjak dahulu, kota-kota dibesarkan menggunakan susu formula. Diajari dewasa dengan cara menganiaya desa-desa. Tubuhnya menggemuk oleh kegelisahan. Secara instan. Begitu konstan.
Dan kini, alangkah baiknya jika aku menuliskan wajah kota tanpa skeptisme. Karena ternyata kota banyak sekali memiliki romantisme. Dari episteme yang epik. Hingga urusan idealisme yang pelik.
Semua menjadi anatomi kota. Mulai dari sorot mata yang kehilangan retina, hati yang tersayat pisau berkarat, sampai ujung lidah yang kehabisan kata keparat.
Bogor, 24 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H