Aku sama sekali bukan penggemar legenda Damarwulan. Simbol kelicikan yang disembunyikan ketampanan dan perilaku sopan. Menerabas semak belukar untuk menyampaikan ontran-ontran. Bahwa Blambangan adalah dalang kericuhan yang mesti segera punah dari muka bumi. Atau matahari akan enggan terbit lagi.
Itu adalah sebuah kisah tentang bagaimana cara terbaik menggadaikan hati. Tawar menawar dengan mimpi. Untuk berikutnya mencederai harga diri. Dengan tajamnya mata belati.
Damarwulan adalah seorang pecundang yang seharusnya hanya dikisahkan di waktu paling luang. Ketika anak-anak sudah terlelap di peraduan. Sehingga tak lagi menganggap bahwa jargon kekuasaan selalu ditakdirkan sebagai pemenang.
Damarwulan adalah fatamorgana kebaikan. Membangun sebuah oase di padang pasir tak bertuan. Lalu mengundang orang-orang datang untuk meminum air yang dipinjam dari hujan. Sementara orang-orang itu, bahkan sama sekali tidak kehausan.
Legenda Damarwulan. Sama dengan legenda tentang kebusukan yang dibenarkan. Seperti buah apel yang diperam. Hanya untuk dimakan ketika kekenyangan. Agar bisa dimuntahkan.
Minak Jinggo adalah jelmaan Rahwana yang dipulasara menjadi kisah jalang. Dalam cerita yang mesti ditulis ulang. Bukan oleh pemenang.
Bogor, 22 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H