Berjatuhan seperti pasukan kalah perang. Tergeletak di pelataran. Tumbuh seketika. Menjadi kuncup dan bunga. Menjadi kamboja dan cemara. Menjadi pokok mangga dan daun-daun nangka.
Tubuh-tubuh hujan akan selalu kau saksikan dalam gerak tari dan perjamuan. Hadir di hadapanmu sebagai tamu, peramu rindu, dan penjamu kisah-kisah pelik masa lalu.
Tubuh-tubuh hujan sering kau anggap sebagai kenangan yang datang bertamu. Tanpa mengetuk pintu. Hanya dengan ritme musik, ingatanmu akan kembali terusik. Kau menjadi seorang pelamun yang menggambar dinding kamar dengan kisah-kisah samar. Berikutnya, kau terkapar dengan bola mata nanar.
Sebagai peramu rindu yang sangat mahir menjelaskan perihal seseorang atau sebuah kejadian, tubuh-tubuh hujan sesungguhnya adalah sebuah tulisan. Beralamat pada buku diari yang kau tulis dengan berbagai macam warna. Terkadang senja, tak jarang pagi buta, namun seringkali pula malam tepat saat purnama tiba.
Dalam perjamuan kisah-kisah pelik masa lalu, tubuh-tubuh hujan adalah fragmen waktu yang memutar film bisu. Kau ada di sana. Tapi tak kuasa untuk merubah bahkan sekepingpun cerita. Kau adalah pemeran utama yang tak ingat dulu skenarionya seperti apa, namun pada akhirnya paham bahwa kau tak lebih dari anak-anak wayang yang merengek meminta kisah cintanya diulang.
Pada tubuh-tubuh hujan yang identik dengan dinginnya raut muka sunyi, tersimpan memori sekuat pusaka hasil tempaan pandai besi. Kau tak akan mampu melupakannya. Kau hanya bisa berusaha sekuat tenaga untuk tak mengingatnya.
Bogor, 22 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H