Di atas meja, terhidang sepotong senja. Aku tak harus menyantapnya. Karena cukup dengan menatap, senja itu telah membuat hatiku menetap.
Di sampingnya, secangkir kopi sedang berbunga. Memekarkan khayalan hingga sampai puncak tangga. Aku tak harus meminumnya. Sebab cukup dengan menyesap aroma wangi, kopi itu mampu membuat tunggang langgang sunyi.
Di beranda, tempias hujan menyeret sudut mata. Ke sebuah panggung orkestra. Ketika airnya menjatuhi genting. Lalu mengalirkan melodi bersuara bening. Mampu perlahan menggugah hati yang dilanda hening.
Bagimu, sepotong senja adalah waktu paling sempurna. Untuk melengkapi rasa cinta terhadap cuaca. Â Membantumu melupakan kemarau. Saat hatimu dihanguskan begitu banyak igau. Tentang kenangan yang seringkali bertingkah teruk. Menyuruhmu memanggil kembali ingatan buruk.
Bagiku, secangkir kopi adalah kilasan memento mori. Mengingat baik-baik jadwal kematian. Agar bisa menyusun banyak kecemasan. Ke dalam satu keyakinan. Bahwa mati bukan bagian dari kerumitan mimpi. Namun rencana besar yang tak bisa dihindari.
Bagi kita, hujan adalah kekasih yang baik hati. Tiba tepat waktu. Datang bertamu. Lalu memperbaiki koyakan luka masa lalu. Tanpa mengirim tagihan. Setelah memberikan derma kegembiraan.
Jakarta, 19 Desember 2019