Kenapa hujan seolah menjadi dewa yang kesurupan sastra? Di bulan-bulan ketika musim basah berada di dalam kantong celana. Namun selalu saja berhasil mendidihkan isi kepala.
Hujan kemudian menjadi dewi-dewi yang menari di sore hari. Di panggung-panggung megah yang didirikan para pemikir filosofi. Hujan lantas tidak menjadi dirinya sendiri. Karena selalu dikaitkan dengan acara asmara dan rencana patah hati.
Hujan, mungkin berasal dari rahim awan. Â Tapi sesungguhnya sang ibunda menyusuinya melalui daun dan bunga-bunga. Lalu membesarkannya di akar-akar pepohonan. Di sebuah taman atau hutan yang arwahnya masih terikat pada tembuni. Dalam sebuah jalinan kasih saling memberi.
Hujan adalah karya sastra yang tak bisa direncanakan para pujangga. Mereka hanya bisa memujanya. Meramunya dalam bait dan paragraf. Lalu mengaitkannya pada pantograf. Mengiringi perjalanan kereta yang mengantarkan harapan hingga sampai tujuan. Di tengah kota yang hingar bingar dengan berbagai jenis kekacauan. Juga berbagai macam perihal kehilangan.
Bagi sebuah buku yang membutuhkan nyawa tambahan, hujan adalah ruh istimewa yang sengaja diciptakan Tuhan bagi siapa saja yang menempatkan kepedihan sebagai raut muka.
Bagi sebuah roman, hujan adalah tempat terbaik untuk berdansa dalam peran percintaan. Para penulis dan sutradara, hanya tinggal memerintahkan para pemeran menambahinya dengan tetesan airmata. Agar semakin terlihat bahwa dunia ini ternyata jauh lebih menyedihkan dibanding sekedar sandiwara di panggung drama.
Bogor, 15 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H