Tak ada yang lebih paham betapa pagi adalah jelmaan bidadari, selain matahari
di setiap sudutnya, lahir keindahan yang tidak tercantum dalam kamus kosakata;
embun yang menyajikan dirinya sebagai obat tetes mata, bagi mereka yang gelap mata
kabut tipis yang sanggup memandikan kepedihan hati, bagi mereka yang berencana patah hati
serta suara langgam burung-burung penyanyi, bagi mereka yang nyaris mati dianiaya sunyi
Bagi sebuah kota, pagi adalah keriuhan yang berulang, percakapan tentang waktu senggang, dan tempat lengang yang seringkali mengintai dengan mata jalang
Bagi desa-desa, pagi adalah perbukitan yang menari-nari, angin yang sibuk menyiangi batang padi, dan liuk seksi pinggang kali-kali
Bagi pesisir, pagi adalah saat menyemai cakrawala, menyisir sisa-sisa sandyakala, dan menyambut kedatangan para nelayan dengan senyuman lebar anak-anak mereka
Pagi bahkan mampu beromantika lebih dari kisah cinta pada opera Cina
pagi juga terbiasa menjadi seorang ibunda bagi anak-anak malang yang mengira langitlah yang telah melahirkannya
pagi, menyalakan api, bagi orang-orang yang kedinginan setelah semalaman bertemu mimpi, lalu saling berjanji, untuk bersama-sama menyudahi rasa sepi
Jakarta, 12 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H