Seorang Samurai, mengasah katana, di pagi hari, menggunakan jilatan lidah matahari. Ia ingin mata pedangnya setajam api, sekaligus selembut orang yang baru sembuh dari patah hati.
Baginya, harga diri adalah mahkota. Jauh berada di atas kepala. Kepada majikan yang memberinya sarung pedang, dia akan persembahkan hingga tulang belulang.
Seorang Ronin, mengurung katana di hatinya, hingga kelak berjumpa, dengan seorang majikan yang memberinya derma, sepotong matahari, atau sepercik mimpi.
Dia, akan berjibaku dengan waktu. Mengembara menelusuri ceruk-ceruk perjalanan panjang dan berbatu. Sendirian. Tanpa merasa kesepian. Dengan katana bertumbuhan dari matanya. Tanpa jumawa.
Seorang Musashi, terkulai di sudut masa yang tidak berpihak terhadap rindunya kepada dunia. Â Memutuskan berada di pinggir kegelapan. Karena cahaya terang seringkali membuatnya buta. Sehingga lupa bahwa dirinya adalah seorang petarung yang selalu memberi hormat terhadap mayat musuhnya.
Bagi seorang Musashi, taman-taman berisi mawar adalah kekasih yang tak pernah dipunyai. Seperti sosok bayangan yang selalu mengikuti, sampai padamnya matahari membuatnya berhenti. Untuk kemudian mencintai lagi. Esok hari.
Dia, menyusun Go Rin Ni Sho sebagai tanda cinta terhadap bushido. Bagaimana menumbuhkan bunga-bunga, menyiraminya, lalu memenggal lehernya saat keharumannya mengkhianati jiwa.
Berau, 7 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H