Aku secemas tanda baca yang tak bisa menemui kalimatnya. Sekhawatir deretan koma yang berlalu-lalang mencari titiknya. Dengan berdiri di sini, di pinggiran telaga yang sunyi. Menunggu kepastian kau tiba bersama pagi. Aku, adalah sepotong janji yang belum ditepati.
Dulu kau memang berjanji menjadi matahari. Bagi kesenyapan malam yang menyekapku dalam dinginnya mimpi. Kau bilang tunggulah, aku akan tiba tepat sesaat sebelum permukaan tanah bisa dibaca. Aku akan mengelusmu dengan cahaya.
Pagi sudah meremang dengan gamang. Titik-titik embun berjatuhan seperti pasukan kalah perang. Namun kau belum juga tiba. Bahkan ketika burung penyanyi mulai diam dan lampu jalanan telah padam.
Mungkin kau terlambat karena salah alamat. Aku ada di hutan dan kau menuju lautan. Kau mengira aku tenggelam dan aku menduga kau mengendarai pepohonan. Kita tak akan bertemu. Sekalipun dunia menyempit seperti sepotong batu. Kita masing-masing diperangkap oleh waktu.
Kali ini, aku secemas secarik kertas yang terkulai di meja sarapan menunggu jamuan kata-kata. Sekhawatir tanda tanya yang mulai bertanya-tanya kapan bisa menemukan jawabannya. Dengan terpaku di sana, di rak-rak almari yang kehabisan nyawa. Aku, adalah tubuh puisi yang terpenggal batang lehernya.
Berau, 3 Desember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H