Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Artikel Utama

Post Mortem Bahagia

22 November 2019   18:08 Diperbarui: 22 November 2019   20:38 193
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://cdn.pixabay.com

Jalanan cukup lembab untuk dilalui muka-muka sembab yang baru saja kehilangan hari kerja. Saya melihat mereka agak menderita. Bisa jadi karena dua hari ke depan yang disebut liburan, namun kepala mereka masih juga menampilkan layar komputer dan wajah para bos yang raut mukanya sudah digadaikan.

Sore ini semakin mendung karena di hadapannya berlaluan wajah-wajah murung yang entah kapan memutuskan bahwa melenyapnya sepotong hari sama saja dengan luruhnya satu sel hati. Dengan alasan apapun itu aku terpaksa tidak bersetuju. Sepotong hari sama berharganya dengan sepotong besi dan sepercik api di tangan pandai besi.

Petang menjelang tanpa bisa dicegah meski matahari berusaha keras menyergah. Katanya ingin rasanya menambah porsi cahaya agar remang yang membuat tengkuk meremang tidak menakuti anak kecil yang sibuk menyusup ke payudara ibunya. Menghilangkan kengerian dengan meneguk besarnya kasih sayang.

Saya berhenti sejenak di sebuah halte yang belum lama tadi kehujanan. Kerumunan orang-orang telah menghilang, tapi halte itu belum puas dengan kejadian pertemuan. Setiap hari mendengarkan sapaan dan jabat tangan membuatnya bahagia meski pilar tuanya mulai menimbulkan sakit punggung karena menyangga atap yang sedikit limbung.

Saya teruskan menyusuri trotoar yang baru saja digali untuk menemukan kabel-kabel yang mati. Jasadnya bergelimpangan seperti korban-korban perang yang belum sempat dikuburkan. Saya terus saja. Saya ingin menemukan bahagia yang ketinggalan di peron kosong atau tempat duduk mengkilat di stasiun yang telah memberangkatkan para pekerja pulang ke rumahnya.

Saya mau mengidenfikasi seperti apa post mortem bahagia yang sebenarnya. Apakah terikut dalam rumitnya DNA atau hanya semacam hologram yang tak berbentuk nyata.

Sampai sejauh ini. Sampai cahaya terakhir matahari tenggelam di ujung jari kaki, saya tak berhasil menemui.

Mungkin nanti saja. Di kehadiran lain dari senja yang berwajah berbeda. Saya punya keberuntungan untuk bisa berjumpa.

Jakarta, 22 November 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun