Sederhana saja. Di kala sandyakala melabur dirinya dengan kata-kata. Akan selalu ada cinta. Bagi siapa saja yang berbicara dengan hatinya. Sebab mulut, seringkali menimbulkan kekalutan. Tak termaafkan.
Begitu pula dengan tengah malam. Yang tekun menarikan tarian rembulan. Menunggu langit memecah dirinya menjadi beberapa bagian. Dalam wujud hujan, kerinduan, dan sepotong kecil kenangan.
1) hujan berderai di udara yang bergerak landai. Tanpa perlu membawa badai. Pada setiap rintiknya yang memuai begitu menyentuh permukaan tanah yang rekah bekas sentuhan remah-remah matahari, ada satu dua keinginan tersembunyi. Bagaimana besok bisa menyertai pagi. Melahirkan anak-anak embun yang patuh terhadap ritual upacara harakiri.
2) kerinduan itu berjumlah satu. Jika lebih dari itu, maka ia adalah sekawanan hiu sedang berburu. Di lautan yang sedang menumbuhkan ombak sebagai perdu. Membangun hutan-hutan gelombang. Dengan dinding perbukitan yang diwakili gugusan karang. Pada pinggirannya yang setajam pisau belati. Terdapat goresan luka dari sekian banyak mimpi yang memutuskan bunuh diri.
3) sepotong kecil kenangan dituang dalam segelas kopi sembari menunggu hujan rindu berhenti. Ada sisipan airmata ibunda di sana. Memandang dengan tatapan lebih lembut daripada kehangatan cuaca. Melihat anak-anaknya berlarian di pelataran yang dingin. Bermain-main dengan angin. Mengendarainya dengan leluasa. Bersama genapnya asa. Dan keganjilan bagaimana kelak harus menggapainya.
Tengah malam yang sederhana. Setelah melewati rumitnya sandyakala. Mengantar lelap sekelumit percakapan yang gagap. Antara orang-orang yang masih terjaga. Dengan tarian rembulan yang telah sampai pada puncaknya.
Bogor, 17 November 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H