Puncak malam ternyata punya beberapa kerumunan yang bisa menyalakan aura kegelapan. Bintang yang seakan jatuh, langit yang seolah runtuh, dan sisa kopi yang lupa diseduh.
Bintang-bintang yang terlepas dari kawanannya karena tersesat di lorong-lorong kota lalu menjelma jadi lampu jalanan di taman yang remang-remang. Menyaksikan lalu lalang orang pulang. Bergembira setelah berhasil melalui hari yang melelahkan. Tanpa meludah atau berserapah. Walau beberapa tetap saja membawa sisa-sisa rasa gelisah.
Langit runtuh karena sedang mencari-cari di mana letak subuh. Apakah selalu dalam dekapan matahari yang meringkuk di bilik ufuk, atau justru berdiam di ruang-ruang hening yang sanggup mendinginkan panasnya tengkuk. Tak peduli di mana, langit hanya ingin membasuh muka. Bersama doa-doa yang mengangkasa menemui Tuhannya.
Segelas kopi yang belum ditiupkan ruh tergeletak di atas meja di sebuah beranda yang sedang bertukar mata dengan pucuk cemara. Bersama-sama menjadi saksi utama ketika dinihari tiba lalu bertegur sapa. Membicarakan bunga-bunga kamboja yang berserakan di ujung tangga. Menganggapnya sebagai upacara sederhana menghormati rerumputan dan tanah-tanah yang mencintai wanginya.
Malampun akhirnya menuruni puncak stupa. Menyisir angka demi angka yang disediakan jam dinding secara cuma-cuma. Menghampiri pagi yang sedang terpekur di sudut waktu. Â Menyelesaikan sekian banyak mimpi yang masih berbahasa gagu. Memberinya suara dan kata-kata. Apa yang nanti mesti disampaikan saat fajar mulai terjaga.
Bogor, 17 Nopember 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI