Sebuah karya seni dipahat di tepian langit. Ketika fajar yang epik menampilkan raut muka artistik. Artefak cahaya berhamburan kemana-mana. Menyinggahi beranda, menyusur pematang sawah, lalu menetap di dedaunan yang matanya lebar terbuka.
Dunia sedang tersenyum pada dirinya sendiri. Menghibur hatinya yang semalam terjebak dalam relikui. Mimpi-mimpi terbaik telah habis-habisan dilanun. Menjadi harta karun yang hanya bisa dilihat di museum yang memajang sejarah para pelanun.
Bila pagi terus seperti ini. Mungkin saja sengketa yang ada hanyalah perbedaan antara empedu dan gula. Cuma kekacauan antara pahit dan manis belaka. Tidak ada pertengkaran saat sarapan, atau perkelahian memperebutkan kopi sachetan.
Bila demikian adanya, nanti saat senja tiba, orang-orang sudah bisa mulai bercengkrama. Bercakap-cakap tentang puncak almanak yang disebut purnama. Berbincang-bincang mengenai bagaimana cara menikmatinya. Bukan lantas berebutan cahaya agar kegelapan di rumahnya masing-masing sirna.
Menyala. Dan tidak pernah padam sebelum waktunya.
Pontianak, 12 Nopember 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI