Di rumah makan,
banyak orang menyuapi dirinya sembari terpejam. Membayangkan rasa garam adalah sebuah kegembiraan. Tetesan gula sebagai manisnya kebahagiaan.
Namun gagal secara telak. Lidah bisa diperintah namun sinapsis otak tidak bisa diperbudak. Ketika kerumunan percakapan di sel-sel syaraf menyampaikan keberatan. Tentang berbagai hal yang nantinya akan menjadi pangkal kericuhan jika tak segera ditunaikan.
Janji-janji yang berbaris di rak baca, sumpah-sumpah yang meradang di angkasa, dan cita-cita yang sengaja disimpan di kotak pandora. Semua disuruh menunggu pasal-pasalnya dipilah, hujan tumpah, dan keinginan besar yang masih terbelah-belah oleh rasa lelah.
Di rumah sakit,
orang-orang terbaring memandangi langit-langit kamar dengan tatapan nanar. Mencoba menyusuri nasib di permukaan plafonnya yang berwarna putih, sambil berusaha keras menyusui dirinya dengan anggapan bahwa masih ada harapan meski itu semua terdengar sebagai penghiburan bagi orang-orang yang berada satu ruangan dengan aroma kesunyian dan aura kematian.
Pikiran lantas melayang ke tempat-tempat tak bertuan. Tempat yang selama ini selalu dihindari oleh ingatan. Karena ketakutan dengan banyaknya tanda-tanda peringatan yang ditulis kapital dengan huruf tebal secara sederhana; ini adalah amaran bagi siapa saja untuk tidak merasa baik-baik saja sampai kelak akhirnya menaiki keranda menuju pusara. Tempat ini mungkin memang tak bertuan, tapi di dalamnya selalu ada induk semang yang disebut Tuhan.
Jakarta, 11 Nopember 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI