Kota ini selalu mengingatkan aku tentang hujan yang datang tiba-tiba. Menyeretku berteduh di bawah kapuk randu yang belum saatnya berbunga. Di halaman depan sebuah bangunan yang menyimpan misteri. Di kaca-kacanya yang nyaris selalu mengembun tiap pagi.
Kota ini pula yang mengajakku jatuh cinta. Kepada langit senja, udara dingin, dan pepohonan yang menyekap kegelapan di jantungnya.
Kepada langit senja aku dulu berpikir hendak meminangnya dengan mahar hati yang gemetar, benak yang nanar, dan berita-berita yang tidak pasti memberi kabar.
Saat itu aku adalah lelaki barbarian yang mengaku sangat berperadaban.
Kepada udara dingin aku berniat menjadikannya pengantin dengan pelaminan yang dibangun dari gerimis, musik degung yang dibuat ritmis, dan kisah-kisah miris yang dituliskan dalam hikayat retoris.
Ketika itu aku adalah lelaki yang memanggul kekacauan di setiap sajak yang aku bacakan.
Kepada pepohonan aku mau bersamanya menangkap remah cahaya matahari, menjerangnya dalam tungku demi segelas kopi, di sebuah rumah yang aku namakan pondok satu hati.
Waktu itu aku adalah lelaki yang di setiap urat syarafnya dihidupi oleh mimpi yang sama sekali belum jadi.
Pada akhirnya aku kembali ke sini. Ke sebuah kota yang senjanya nyaris pias, udara yang memanas, dan pepohonan yang meranggas. Mengingatkanku pada kisah seorang lelaki yang pergi jauh demi terhindar dari cintanya yang kandas, kebas dan kehabisan nafas.
Bogor, 3 Nopember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H