Aku tidak berusaha meniru hujan bulan Juni. Karena bagiku hujan bukan urusan rasi. Itu semua urusan kapan terbangun dari hibernasi. Setelah beberapa lama bergelung dalam dingin. Di musim yang sangat berangin.
Bagiku, bulan November lebih membara. Karena saat itulah sebuah lagu dilahirkan oleh senapan dan bunga. Bercerita tentang lilin yang kesulitan menyala. Ketika kekasih datang dan pergi, meniup mati dengan bibirnya yang gemetar. Lalu berikutnya tiba dengan membawa pemantik di kedua matanya yang menerbitkan suar.
Hujan bulan November sebagian besar membawa kabar tentang langit yang penuh dan sungai-sungai yang jenuh. Juga tanah-tanah runtuh dan kekuatan hati yang luruh.
Hujan di bulan ini, adalah tangisan bayi dan isakan bidadari. Setelah para ibunda dan kejadian bianglala pergi meninggalkan mereka. Untuk sementara atau selamanya.
Hujan di bulan November adalah hikayat airmata. Cerita-cerita dari surga yang pergi ke bumi dengan melewati pinggiran neraka.
Hujan ini, dan juga bulan ini, bukan semata tentang musik dan cinta. Namun lebih banyak berkisah tentang harapan yang diterbangkan oleh doa-doa.
Jakarta, 2 Nopember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H