Saya terjaga dengan raut muka lebih gulita dari malam yang paling buta. Jendela kamar saya terbuka, angin masuk, hingga mimpi-mimpi lepas beterbangan, padahal saya sedang berusaha keras menyusunnya dalam album kenangan.
Saya tersenyum. Mungkin beginilah rasanya bermain-main dengan pendulum. Mencoba mengelabuhi waktu, namun ternyata justru berlabuh di batu-batu.
Batu yang diselimuti lumut. Licin dan berkabut. Simbol dari skenario cinta yang kalang kabut. Dari Romeo dan Julia di Italia, hingga Sam Pek dan Eng Tay dari Cina. Bagaimana mereka membiarkan jantungnya dihunjam ujung kematian. Lalu merelakan kisahnya dimakamkan dalam keabadian.
Saya menutup senyuman. Lantas membuka gerutuan. Manakala sisa-sisa cahaya rembulan yang tercecer di tepian langit, mendadak menjelma jadi rasa sakit. Mewujud dalam bentuk onak dan duri. Sangat melukai.
Saya tak mau berkabung dalam duka. Saya memilih berkubang dalam genangan tawa. Mentertawakan hujan yang datang salah alamat. Di tempat orang-orang yang hatinya sedang tercekat. Akibat berselisih terlalu lama. Dengan angka-angka dalam usia.
Sembari terus menerbitkan tanya. Di tajuk rencana halaman muka.
Di koran-koran bekas. Juga linimasa yang tak punya tapal batas.
Bogor, 1 Nopember 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H