Serangkaian kalimat yang terpenggal berubah menjadi kanibal. Mengunyah dirinya sendiri menjadi kehilangan arti. Hanya merupa jejeran arca rusak yang tak layak dipuja. Kedaluarsa.
Kata demi kata jatuh bersama hujan yang tiba kesorean. Hanyut dalam kenangan lalu berkubang di genangan. Menjadi kolam-kolam kecil yang tak menemukan selokan. Tak tahu arah pulang.
Senja terhumbalang seperti mata kehilangan kornea. Larut dalam sepi yang berbahaya. Ketika orang-orang memilih bersembunyi. Di antara pagar ilalang yang berbaris rapi. Layaknya pasukan Terrakota yang berani namun gagu. Berjaga sesuai perintah Sun Tzu. Jangan sampai takluk oleh waktu.
Hujan telah berhenti lama. Tapi langit masih bermuram durja. Menyumbat keramaian kota. Dalam suasana gamang tanpa percakapan. Ditelan denting lirih sendok beradu dengan cawan. Dalam opera kopi sachetan.
Cemara yang tinggal satu-satunya. Menjatuhkan sirip daunnya yang tersisa. Bergelung di tanah basah. Melepaskan lelah. Setelah sekian lama coba menuliskan sejarah. Tentang bait-bait puisi yang nyaris punah. Pada mosaik senja yang ditenggelamkan amarah. Luluh lantak dirasuah.
Bogor, 26 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H