Daun-daun jatuh. Di dalam pekarangan yang baru saja dirasuah matahari. Pada sebuah rumah yang di dalamnya dipenuhi reinkarnasi mimpi. Mimpi yang mati berkali-kali namun selalu hidup lagi.
Para penumpang kereta luruh. Seperti kupu-kupu di musim nektar. Berputar-putar. Menjelajahi kelopak demi kelopak bunga. Di kota yang dinobatkan sebagai tempat wisata bagi demarkasi pahala dan dosa.
Semua bergerak dalam irama orkestra. Memainkan drama yang tak pernah usai. Di panggung yang lebih berantakan daripada musim badai.
Seperti anak anai-anai. Dilahirkan dalam senyap. Namun kelak berhiruk-pikuk meninggalkan gelap. Mencari cahaya lampu. Menguburkan diri bersama-sama dalam kematian yang kelu.
Semua diam seribu bahasa. Saat hujan menghamburkan lusinan kata-kata. Memberikan peringatan tentang cuaca ketika pulang. Tak bisa diramalkan bahkan oleh sekian banyak rasi bintang.
Pulang, bisa jadi adalah keberangkatan menuju ruang-ruang lengang. Atau sebaliknya, hanya meninggalkan keramaian karena terlalu banyak waktu senggang yang dibuang-buang.
Jakarta, 17 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H