Detik-detik ketika purnama menyinggahi sebuah kota, adalah serpihan waktu paling berharga bagi menara-menara kaca untuk membasuh raut mukanya yang berjelaga, potongan waktu paling sempurna bagi orang-orang yang begitu kelelahan hingga terpapar cedera, dan kepingan waktu paling paripurna bagi para kekasih untuk melupakan patah hatinya.
Di sana, rembulan menyergap trotoar dan selokan secepat terkaman serigala alfa. Di belantara yang diciptakan dari tumpukan batu bata. Lolongan yang terdengar, hanya bisikan lirih dari laring-laring bertagar. Dan cuma bisa didengar, oleh deretan telinga pengar.
Detik-detik ketika purnama menenggelamkan dirinya di kerumunan yang kehilangan saat berbicara, adalah remah-remah waktu yang terbujur kaku di kamar yang kehabisan lampu baca. Sementara lembaran-lembaran buku terbuka begitu saja. Kehabisan pembaca yang menggadaikan diri sepenuhnya pada kemewahan linimasa.
Rembulan lalu menjatuhkan diri. Bersama sunyi. Di keheningan pagi yang juga kehabisan matahari.
Jakarta, 14 Oktober 2019
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H