Di luar sungguh gaduh. Datang berduyun-duyun kabar yang membuat sebagian hatiku runtuh. Rembulan patah, langit terbelah, dan setiap sudut malam akhirnya tumpah. Di piring-piring nasi kosong dan gelas minuman yang isinya hanya tinggal sumpah serapah. Menyumpahi kesendirian, yang berhasil menguasai seluk beluk keramaian.
Dan aku ingin menyepi. Menunggui sunyi. Datang bertandang. Membawakanku segulungan benang. Aku berencana merajut sungai-sungai yang buntu, menganyam jalanan yang kehabisan batu, juga menenun serpihan waktu yang ditinggalkan oleh jejak-jejak gagu, ketika perjalanan panjang dilakukan tanpa diterangi oleh cahaya lampu.
Ini sebenarnya bukan perburuan. Savana telah lama ditinggalkan hyena. Hanya tersisa duri-duri akasia yang menghadap dinding langit. Memperlihatkan dengan jelas apa itu rasa sakit. Berawal dari tajamnya rencana, hingga berakhir di kejamnya cuaca.
Aku tak mau menanti hujan. Dalam keanggunannya tersimpan begitu banyak pertanyaan. Tentang siapa yang harus bertanggung jawab atas beberapa kematian. Keinginan, harapan, dan perasaan. Tanpa satupun tersedia jawaban.
Aku juga enggan berjudi di atas sanggurdi. Kuda-kuda yang berlari, adalah penerima pesan dari asa yang terlalu cepat dibawa mati.
Namun aku tetap mau berburu. Kesendirian telah berlaku liar kepadaku. Menyeringai seram pada tengah malam. Lalu kencang membadai di kala aku diam.
Jakarta, 10 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H