Di sebuah perbatasan. Ketika sayap-sayap matahari hampir saja dipatahkan. Orang-orang saling menggerutu. Mengeluh kehabisan waktu.
Ruang-ruang lengang sulit sekali dijumpai. Nyaris semua sudut terisi oleh mimpi. Baik yang tergeletak mati, maupun yang baru saja dituliskan dalam diari.
Dunia sekarang tidak hanya berlarian. Namun sudah memasuki fase berkejar-kejaran. Peradaban bertingkah polah seperti perawan. Dipingit habis-habisan, namun diam-diam melakukan percakapan dengan keramaian.
Saat pisau belati yang disebut kegagalan menyayat-nyayat, airmata lantas berjatuhan laksana hujan yang salah alamat. Membasahi permukaan lautan yang di puncak gelombangnya berselancar ribuan asa. Menenggelamkannya. Lalu mengirimkan karangan bunga tanda bela sungkawa. Melalui warna senja yang kehilangan semburat merahnya.
Di perbatasan antara senja dan airmata, berdiri termangu harapan-harapan yang mendadak gagu. Menunggu. Kabar baik yang akan dibawa oleh metamorfosa waktu.
Jakarta, 8 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H