Dalam kesunyiannya, sebatang cemara teringat pada bukit-bukit tinggi yang telah melahirkannya, mengingat kembali masa-masa ketika angin menjadi paraji, menanami tanah-tanah segar dengan menyemai biji-biji, menadah remah-remah cahaya matahari, lalu bersenyawa dengan ruh-ruh hujan yang menghidupkan tembuni.
Pada setiap berita yang menimbulkan kepedihan, pokok kamboja selalu meranggaskan daun-daunnya. Turut berbela sungkawa, melabur tanah-tanah yang berduka, dengan cara menyiraminya dengan bunga-bunga.
Di kerumunan kisah yang kehilangan tanda bacanya, titik dan koma saling berkejaran. Mencari posisi paling depan. Apakah jedanya akan semakin panjang, atau telah sampai di perhentian yang direncanakan, atau justru malah mengulang-ulang persinggahan. Lantas kehilangan. Apa yang disebut sebagai marwah. Sebuah filosofi yang dibiarkan tumpah.
Ketika siang dan malam membuka pintu dan menutup jendela, suara-suara berada di antara desis dan diam. Tersisa hanyalah gumam. Dari orang-orang yang kehabisan gula. Untuk memaniskan dunia. Pahit sekarang tak hanya di ujung lidah. Namun telah tiba di setiap halaman rumah.
Dan saat akhirnya keramaian adalah satu-satunya pilihan, segala macam perbincangan lalu kehilangan percakapan. Kata-kata, tak ubahnya sebuah peperangan, menjadi pedang mematikan. Membunuh tanpa disuruh, mengubur tanpa liang kubur, lalu mengadakan upacara peringatan, bahwa dunia semakin tidak berTuhan.
Bogor, 6 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H