Mendulang sarkasme yang meluber di jalan-jalan protokol sambil diramaikan dengung sirine dan lemparan gas yang membuat orang berair mata sejadi-jadinya dalam peristiwa yang tak layak disebut bernegara, salah satu cara merayakan pesta trias politika yang mendadak berubah sinis dan murka.
Para penguasa berdiri di jendela setengah terbuka karena enggan melihat semuanya. Ini kecelakaan saja kata mereka dalam hati sambil menghirup udara yang membawa beberapa kabar duka. Orang-orang kehilangan nyawa dan itu dianggap cukup dengan mengucapkan bela sungkawa di televisi. Tanpa berusaha sekuatnya memadamkan api.
Adrenalin mengalir kencang seperti air bah. Memenuhi jalanan lalu berakhir di selokan dan meresap dalam tanah. Menjadi nutrisi tak bergizi yang tak menumbuhkan pohon berjenis apapun. Karena perjuangan mereka hanya dianggap sebagai gerakan penyamun.
Ini gelanggang para manusia setengah dewa yang kehilangan percakapan di antara membabi butanya keramaian. Membiarkan rimba belantara tumbuh di tengah kota. Tanpa harus menanam apalagi mesti menyiram. Cukup dengan membuat pasal-pasal aniaya berjalan pongah di sela-sela khalayak sumpah serapah.
Cukup dengan satu kata. Cukup dengan sekali tatap muka. Cukup dengan senyuman penuh cinta. Cukup dengan tatapan setulus hati. Barangkali sarkasme ini bisa berhenti.
Barangkali. Karena semua itu belumlah terjadi. Â
Jakarta, 2 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H