Sebuah pagi yang berlagak romantis. Ketika pokok cemara merayu tanah yang menumbuhkannya, dengan menjatuhkan ruas-ruas jari, sembari berkata setengah berbisik; kau kekasih yang aku yakin tak akan pernah melepaskanku hingga mati. Di dalam ruang-ruangmu yang menyediakan pelukan terhangat, aku lekat.
Sepotong bunga kamboja, sempat melayang di udara. Sebelum terjatuh tanpa suara, di permukaan tanah yang selalu menerimanya tanpa banyak tanya; Siapa anda, mengapa, dan berapa?
Langit membara dengan semenjana. Menyentuh daun-daun hijau yang secepat kilat menyambar ulurannya. Menyesapnya dengan hikmat. Hingga buku-buku akar menggeliat. Di sebuah rumah yang disediakan tanah secara cuma-cuma. Sampai kelak tubuhnya tinggal kerangka.
Sungai-sungai kecil mengaliri potongan pematang baru jadi. Di hadapan para petani yang membersihkan cangkul basah dari remah-remah tanah. Sembari menembangkan lagu-lagu zaman dahulu yang bercerita tentang dewi kesuburan. Sosok tak kasat mata yang sanggup mendermakan asa tidak dengan cara berlebihan.
Orang-orang memulai kisahnya masing-masing. Berjalan dalam hening. Mencari-cari percakapan di tanah-tanah yang kering. Tentang hujan yang tak lagi patah hati. Mengajak bercengkrama hingga terbitnya dinihari.
Barangkali ini semua memang bahagia. Sangat sederhana. Tidak sempurna. Tapi bukan mengada-ada.
Bogor, 2 Oktober 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H