Separuh wajah purnama, yang darinya diharapkan serpihan cahaya, untuk lampu baca, di saat lusinan lampu merkuri, tak mampu mencapai kegelapan hati, sedang dipantulkan permukaan lautan, menabrak pinggiran karang, pecah berantakan dihantam lidah gelombang. Larut kemudian hanyut. Di pantai-pantai berkabut. Buku-bukupun tak jadi dibuka. Peradaban lantas berjalan tanpa ibunda.
Separuhnya lagi masih berdiam di langit, mengumpulkan setiap rasa sakit, yang mengangkasa dari setiap penjuru, ketika doa-doa menjadi sesuatu paling diburu, setelah begitu banyak perkara, membangun lebih banyak penjara, dibanding merintis jalan setapak menuju surga.
Separuh wajah matahari, memanjat tepian kali, bertemu dengan tubuh pagi, yang semakin hari kehabisan embun, setelah hujan habis-habisan dilanun, oleh para penyamun cuaca, dengan cara-cara tak semestinya, melubangi lambung bumi, dan menggelapkan sebagian besar hati. Haripun dimulai dengan tergesa-gesa. Hanya sekedar menunggu penguburan senja.
Separuhnya lagi terhenti di kaki langit, berdiam di sana, tak mau berbuat apa-apa, kecuali menghangatkan tubuh-tubuh tua, yang bersimpuh setiap kali dinihari, menghitung setiap langkah kaki, di masa silam, ketika sejarah cuma bisa dicetak di kertas buram, dalam segmen-segmen penyesalan.
Purnama dan matahari lalu bertiwikrama, pada puncak gerhana, saat cinta dan dosa saling pandang di permukaan cermin, sambil menyusut airmata yang tak lagi asin, setelah sekian lama dikeringkan angin, dan berkali-kali dihambarkan kegagalan ingin.
Berau, 30 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H