Jejak-jejak hujan terlihat samar di kejauhan. Di atas langit yang membentuk sketsa pelaminan. Menguarkan aroma rerumputan baru tumbuh. Di antara bunga-bunga yang kembali menegakkan tubuh.
Perayaan disiapkan. Sudah terlalu lama negeri ini bersekutu dengan prahara. Asap kematian bertiup terlalu kencang. Menerpa beberapa perkara yang mengharuskan banyak orang mesti segera mencuci muka. Agar terjaga sebaik-baiknya.
Orkestra hujan selalu ditunggu. Di dalam iramanya yang sanggup membangkitkan kenangan masa lalu, terdapat falsafah sederhana mengenai waktu.
Bagaimana sepotong kata mampu menjeda kericuhan, jika itu berasal dari mulut seorang pemimpin yang juga begawan. Meninggalkan para pembisik di ruang-ruang lengang. Supaya mulut mereka hanya berkoar-koar di hadapan waktu senggang.
Bagaimana setitik luka kemudian membanjirkan duka. Akibat pemimpin yang menuliskan kesimpulan tanpa melibatkan pendengaran. Irama hujan yang menjatuhi pekarangan, hanya dianggap sebagai sebuah segmen cuaca, bukan musik istimewa yang bisa membuat nafas lega.
Hujan juga bisa memainkan pertunjukan opera berbahaya. Bagi siapa saja yang mematuhi hukum rimba. Bahwa kuasa berada di atas segalanya. Padahal yang dimandatkan hanya perihal yang kasat mata.
Bagaimana dengan ruh dan jiwa yang kelak akan meminta pertanggung jawaban? Atas gugurnya elemen-elemen kemanusiaan?
Pasang Kayu, 25 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H