Sesaat sebelum angin selat di hadapanku ini memadamkan dirinya sendiri, setelah bersua dengan kemarau berusia tiga bulan yang terus menerus beresonansi, lalu saling bercerita mengenai kekacauan akhir-akhir ini pada frekuensi iklim yang enggan mendingin, aku merasakan keringat yang jatuh tak lagi berasa asin.
Barangkali ini semacam kutukan rindu kepada hujan yang masih memutuskan tinggal di negeri empat musim.
Cuaca yang ada telah menjadi semacam duri-duri yang menusuki pori-pori. Menempati ruang-ruang sepi di pantai Losari. Menunggangi buih-buih ombak sebagai api. Memanggang salam para daeng yang sedang saling bertabik di atas perahu bercadik. Mengabarkan bahwa gelombang tinggi telah menggiring ikan-ikan ke tempat paling pelik.
Mungkin ini adalah kisah dari para nelayan yang berangkat dinihari dan pulang pagi dengan menenteng berkeranjang-keranjang sunyi.
Matahari sore menyiramkan cahaya sepanas bara. Memantulkannya di permukaan laut yang baru saja melepas kepergian sekawanan ikan Bubara. Pergi menjauhkan diri dari kericuhan. Air lautan sekarang sekeruh Jakarta ketika kata-kata para politisi saling berjumpalitan.
Meski kemarau terus saja beresonansi melalui melodi tinggi yang menyakitkan telinga. Dan frekuensi hujan tak dapat dijangkau karena terlalu lama mendengarkan syair-syair tentang mea culpa. Namun setidaknya. Anging mamiri kembali kujumpa.
Makassar, 22 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H