Sebuah kota yang nyaris kehilangan anak-anaknya. Setelah membiarkan mereka dewasa dalam asuhan pantai-pantai yang berisik oleh pameran busana, mal-mal yang riuh bersaing atas harga sebuah celana, juga jalanan yang melipat debunya setebal sol sepatu seorang pengelana.
Anak-anak yang dilahirkan oleh pagi tapi memiliki tatapan lebih remang daripada peti mati. Anak-anak yang selalu sarapan remah-remah matahari namun mempunyai niat membekukan bumi. Anak-anak yang setiap hari mandi di bawah siraman hujan tapi punya keinginan untuk melakukan euthanasia pada awan.
Kota jatuh dalam kecemasan akut. Mendirikan rumah-rumah besar yang dikelilingi kabut dan hanya berisikan rasa takut. Kepada apa saja yang dianggap menjadi instrumen kematian. Kepada siapa saja yang dikira sebagai perompak peradaban.
Anak-anaknya begitu senang mempertaruhkan selangkangan di berbagai lomba paduan suara. Melonjak kegirangan ketika syahwatnya membuat pintu senayan terbuka. Sembari berharap banyak bisa menang wisata ke surga. Tapi lupa mencatat dalam ingatan harus juga melewati pinggiran neraka.
Kota yang resah menyaksikan janji-janji manis beterbangan seperti laron di musim hujan. Lalu menjadi saksi saat satu demi satu berjatuhan. Di selokan penuh comberan yang lalu diolah oleh mesin-mesin canggih menjadi minuman kemasan.
Ketika semua orang meminumnya setelah sarapan. Kantong-kantong plastik berisi muntahan lantas saja berserakan. Di mana-mana. Bahkan juga di halaman istana. Tempat para hulubalang dan panglima membetulkan raut muka. Agar terlihat sempurna.
Jakarta, 22 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H