Aku lihat matamu rebah ke arah yang salah. Menghindar bersitatap dengan petang yang menjemukan, namun malah terperangkap saling pandang dengan malam yang sedang memulai kericuhan.
Rembulan belum waktunya mati. Hanya saja cahayanya lenyap ditelan bintang yang ramai-ramai mengadakan kenduri. Langit sedang menggali jurang-jurang yang sangat dalam. Kelak akan dijadikan tempat mengubur keinginan yang selalu menjatuhkan pilihan untuk diam.
Negeri yang dikelilingi api ini sedang memulihkan diri. Dari duka mendalam atas kejantanan yang dikebiri. Orang-orang yang terpilih merayakannya dengan berpesta. Menjilati ludah dari sumpah yang tumpah ruah di tempat sampah.
Aku lihat kau menuliskan kegelisahan dengan cara tak mau melihat televisi. Di layarnya yang empat belas inchi, kau bentangkan kain hitam menutupi. Bagimu ini saatnya berkabung atas mampusnya keadilan. Mengibarkan bendera seperempat tiang. Lalu menaburkan bunga-bunga kamboja. Bertahun-tahun lamanya.
Aku tahu, kau menangis tanpa suara wahai ibunda. Di rahimmu yang telah begitu kelelahan melahirkan ribuan asa, anak-anakmu mencongkel biji matanya sendiri hingga buta. Lantas mereka melukis mural di dinding-dinding kota, dengan simbol-simbol celaka.
Habiskan airmatamu wahai ibunda pertiwi. Katakan ini ratapanmu yang terakhir kali. Dan jangan pernah lagi mengandung anak-anak yang menghisap air susumu lalu ditumpahkan lagi.
Biarlah mereka tak beribu bapa. Lagipula mereka menganggap negara ini telah habis mereka sewa.
Biarkan saja.
Pelalawan, 17 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H