Bila pengawal keadilan di negeri ini hendak benar-benar dipenggal oleh para pembual, maka para penjagal akan mengganti pisau lipatnya dengan belati termahal. Tertawa bahagia di halaman belakang kota, lalu tergelak-gelak di beranda yang telah ditinggalkan pemiliknya.
Para pembual duduk bersama dalam satu perjamuan besar. Mengasah pisau mereka yang telah diludahi kemarau. Sementara di meja makan, terbujur kaku pasal demi pasal yang hendak menjadi santapan makan siang.
Banyak yang berduka. Bahkan hingga meminjam airmata yang sedianya menjadi musim hujan. Berbela sungkawa atas kekeringan. Lalu bersama-sama melafalkan doa-doa kematian.
Jika negeri ini membiarkan para begundal berpesta di atas tanah yang telah disuburkan ledakan gunung berapi, bagi para petani. Lantas tertidur pulas di atas pembaringan yang dibuat nyaman oleh buaian gelombang lautan, untuk para nelayan,
Maka sudah selayaknya semua orang mulai membuat tiang-tiang gantungan. Bersiap melilitkan tali dengan simpul mati dari kepala hingga tenggorokan. Menjadi tumbal secara sukarela. Atas kelahiran gegap gempita pasal-pasal baru yang sebelumnya telah dilumuri bisa. Bukan dari air liur ular kobra. Namun dari ludah yang dicipratkan oleh lidah yang menjulur-julurkan amanat angkara.
Sungguh celaka!
Semoga neraka melihat ini semua!
Jakarta, 6 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H