Berkumpullah para pecandu senja di sebuah prairie yang kehilangan rumput setelah habis-habisan dipanen kemarau. Mata mereka tak bisa lepas dari bayangan hujan yang makin menjauh. Ini semacam kerinduan yang tak sanggup dituntaskan. Seperti hendak meraih harapan yang masih sibuk dilukis dalam angan.
Beramai-ramailah para pengabdi memanggil-manggil hujan dengan sebutan tuan. Di tangan mereka menggenggam asa dan juga permohonan. Menyeret tubuh kisut nyaris kerontang. Doa-doa lalu dipanjatkan berulang-ulang.
Ini fragmen ke sekian. Ketika fase hujan sungguh ditunggu. Mengetuk pintu rumah, atau setidaknya datang ke halaman belakang. Tempat bunga selasih merintih-rintih seolah kehilangan kekasih. Akarnya menggelinjang, batangnya meradang, dan daun-daunnya berguguran. Meraih-raih kematian.
Lantas berduyun-duyun para penggali kubur menyiapkan lubang-lubang kuburan. Memakamkan asa yang kedaluarsa, jenazah sumpah yang tumpah ruah, juga janji-janji yang telah terlewati hari.
Di pemakaman raksasa tak bernisan. Tempat kemarau dan hujan dikebumikan berdampingan. Oleh tungku manusia yang terus saja melakukan kekacauan. Saat iklim dijerang dan dipanaskan secara berlebihan. Pada waktu bersamaan.
Jakarta, 5 September 2019