Orang-orang surrealis, menggenggam matahari, namun tak kepanasan. Karena di hati mereka, sama sekali tak ada kecemasan. Satu-satunya kecemasan yang tersisa, hanyalah jika mereka tidak bisa mengaduk imajinasi, dalam riuh rendahnya realita.
Orang-orang realis, mengukur setiap bayangan, setepat-tepatnya. Agar tak luput dalam menjahit baju, yang dikenakan ketika siang sedang bercahaya. Di malam hari, orang-orang realis akan memadamkan rembulan dan mengusir kunang-kunang. Karena lebih percaya pada lampu, yang dianggap lebih mungkin dipaku, di dinding, meja kerja, dan ruang tamu.
Orang-orang skeptis, ikut bertaruh pada lomba pacuan kuda, namun pergi bahkan sebelum istal dibuka. Bagi mereka, semua hal lebih baik diam. Percakapan dalam gumam, bekerja secara hologram, hingga mengecat malam dengan warna hitam.
Orang-orang paradoks, bercita-cita menginjak kotoran, tapi sepatunya tetap sebersih cawan minuman. Seringkali berlari menghindari api, namun sesungguhnya suka membakar pagi, dengan pandang mata nanar, dalam pikirannya yang berputar-putar, selalu ada rencana untuk berbuat makar.
Orang-orang biasa, menyeduh kesepian dalam segelas kopi, meneguknya perlahan sekali, menikmati setiap adrenalin yang mengalir, sambil menatap matahari pagi, menyapanya dengan riang tanpa menghiraukan seperti apa bentuk bayangan badan, sembari tak henti meneriakkan kekaguman; inilah realita sederhana yang menyenangkan! Tanpa harus terjatuh dalam pikiran panjang tentang betapa jauhnya lamunan!
Jakarta, 4 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H