Sembari menyusun ulang formasi bebatuan yang mendekam di kepala, seorang perempuan mentransfigurasi sepi di hatinya melalui kolase warna senja yang berjatuhan di kisi-kisi jendela, memungutinya, lalu menyerbukkannya pada benangsari bunga kamboja.
Kamboja yang mewakili kematian, akan dilepaskannya dari ruh kesepian, melupakan tanah pemakaman, dan berbaur dengan angin yang menarikan kegembiraan. Atas kedatangan hujan.
Kendati hujan hanya jatuh tak seberapa lama, setidaknya sempat membasahi pucuk cemara, mengaliri parit-parit kecil yang terlunta-lunta, dan menerbangkan debu-debu yang menampilkan balada di raut muka.
Raut muka para peratap yang mengerutkan dahi. Memikirkan betapa kemarau yang menggila ternyata lebih murka dibanding Rahwana yang istananya dikerubuti api. Sumur-sumur yang kekeringan, bahkan telah mencapai kedalaman tak diduga. Sedalam bintik buta pada mata.
Mata yang ingin selalu memandang petang. Tidak dengan tatapan gamang. Namun penuh rasa rindu. Anak rembulan akan hadir di situ. Bersisian dengan waktu.
Waktu yang selama ini, hanya membawakannya bongkahan sepi. Sedangkan dia, sudah bosan merasa patah hati.
Bogor, 1 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H