Narasi seperti apa, yang harus dituliskan untuk secangkir kopi, terhidang di atas meja kayu, di beranda yang sudut-sudutnya bermekaran bunga sepatu, di sebuah rumah yang atapnya baru saja disinggahi hujan yang datang bertamu?
Ilusi sekuat apa, yang membuat sebongkah roti manis, tersaji di samping secangkir kopi, di atas meja kayu, di beranda yang temaram oleh lampu masa lalu, di sebuah rumah yang halamannya dipenuhi wangi kembang Amarilis, nampak seperti memori yang teriris-iris?
Deskripsi sejelas apa, yang digambarkan oleh langit, ketika sebongkah roti manis telah separuh habis, dan secangkir kopi yang berhasil mengusir sebagian sepi, tertata di meja, di sebuah beranda yang mulai disambangi rama-rama, pada sebuah rumah yang berjendela kaca, berhasil memantulkan warna rahasia cinta, oleh semburat jingga dari berjatuhannya partikel senja?
Spasi selebar apa, yang dibutuhkan seorang penyair gila, untuk menjeda kata-kata, di sehelai kertas tipis, tergeletak di antara sebongkah kecil roti manis, dan secangkir kopi yang menguarkan uap ritmis, bersama-sama dalam satu meja, di sebuah beranda yang terlihat begitu sempurna, di sebuah rumah yang diterangi berlimpahnya asa? Apakah selebar jejak kaki para pengembara, atau selebar langkah panjang kekasih yang hendak pulang?
Gradasi sebanyak apa, yang ingin dilihat dari sebuah spektrum cahaya, untuk mewarnai beberapa bait syair, yang ditulis oleh penyair pandir, pada sebuah kertas tipis yang lusuh dan basah kuyup, dikotori remah-remah roti, dan ditumpahi sisa-sisa kopi, di sebuah beranda yang lama menunggu kepulangan, dari seorang kekasih yang masih dalam perjalanan?
Narasi panjang sebuah kepulangan, adalah ilusi pendek dari adanya pertemuan. Dideskripsikan secara singkat, dalam syair-syair yang berspasi rapat. Bercerita tentang gradasi hati. Menuju kulminasi rasa sunyi.
Jakarta, 30 Agustus 2019
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H