Bagaimana kita mengetahui Hitler itu kejam? Zaman Renaissance itu adalah kebangkitan Eropa dari kegelapan? Riwayat hebat para Nabi? Dan momen-momen yang terjadi di zaman dahulu? Jika tidak karena dituliskan oleh sejarah.
Apabila semua sejarah di atas tidak dituliskan dan hanya diceritakan dari mulut ke mulut maka itu hanya menjadi sebuah kisah yang makin lama hanya akan makin terbumbui oleh berbagai rona lidah dan ludah.
Menulis itu menyawai abad-abad yang berjalan sebelumnya seperti apa. Bahkan dari menulis pula terdapat rancangan-rancangan masa depan. Apakah itu ramalan berdasarkan fiksi ilmiah atau murni proyeksi berbasis kalkulasi.
Jangan pernah sekalipun mengatakan menulis itu sebagai kegiatan tidak bermutu atau buang-buang waktu. Sekontroversi apapun tulisan itu, seburuk apapun sejarah yang diriwayatkan, sebuah karya tulis tetap salah satu dari puncak peradaban. Sampai kapanpun. Saya sangat meyakini hal itu.
Bayangkan seorang pintar sekaliber Einstein sekalipun, jika buah pemikirannya tidak dituliskan dan hanya sebatas dibatin atau didongengkan, maka tak akan ada penemuan-penemuan hebat selanjutnya yang merujuk pada teori Relativitas yang terkenal itu.
Satu hal yang perlu diketahui oleh orang-orang yang skeptis terhadap kegiatan tulis menulis adalah bahwa menulis merupakan kegiatan yang memeras energi secara berlebihan. Otak diperas, fisik dikuras, dan konsentrasi mesti tanpa batas, adalah hal-hal yang mutlak diperlukan pada kegiatan ini. Semua fungsi utama tubuh bekerja secara bersama-sama dan sekaligus juga bekerja sama.
Jangan pula dilupakan bahwa menulis juga memerlukan kekuatan empati dan keluwesan hati. Manusia bukan robot yang mudah saja mengerjakan banyak hal melalui kode-kode pemrograman tanpa harus melalui saringan nalar dan akal. Terlalu banyak yang dipertaruhkan jika menulis diibaratkan kegiatan generik yang mekanis.
Menulis butuh hati! Jika tidak maka tulisan itu tidak akan punya sedikitpun filosofi. Filosofi lah yang membuat tulisan kita hidup dan bernyawa. Tidak menjadi masalah apapun filosofi itu. Apakah dari norma, agama, atau atas asas kemanusiaan semata. Ruh yang mengalir dari situ akan menampakkan raut muka tulisan kita. Menjadi Arjuna, Baladewa, atau bahkan Rahwana.
Menghargai sebuah karya tulis memang bermacam-macam. Menanggapi konten dari tulisan pun beragam. Namun intinya tetap pada eksistensi tulisan itu sendiri. Bagaimana ia telah berani terpampang di depan mata kita untuk dibaca, itu adalah prinsip paling utama. Yaitu ada. Soal kemudian nanti dilahap lalu ditelan, tidak ditelan tapi dimuntahkan, atau ditelan habis-habisan, itu urusan lain.
Itu masalah selera dan passion tentunya. Kita tidak memaksa siapapun untuk menyukai apa yang kita tuliskan. Tidak mungkin seorang penggemar Trias Politica kita minta untuk suka terhadap tulisan aneh dan futuristik ala Michael Crichton. Sebaliknya juga ketika kita begitu asik menghabiskan beratus halaman karya seorang Pramoedya, lalu disodorkan teori statistika yang memecahkan isi kepala dan disuruh menghabiskan membacanya, apa tidak lantas kita terkena serangan hipertensi pada akhirnya.
Menulis itu banyak sekali gaya dan coraknya. Ada yang to the point atau langsung pada intinya, tidak bertele-tele, menohok sekencang-kencangnya. Ada juga yang berputar dulu sejauh rotasi bumi baru kena pada pokok tema yang ingin disampaikannya.  Ada pula yang melintir-lintir seperti kue untir-untir sebelum akhirnya tiba pada ujung pikir.