Malam ini, di saat rembulan mulai bertangkai kegelapan, dan ketika separuh langit memberi pesan hanya dengan sedikit gumaman, juga manakala cahaya lampu di kota besar cuma berupa binar mata tanpa retina, aku kembali melihat majas yang berkeliaran di kaca jendela.
Beberapa di antaranya membawaku ke dalam ruang-ruang lengang yang disebut lamunan. Tentang inspirasi yang tertinggal di gerbong kereta api, juga adrenalin tinggi yang dipompa oleh halte-halte sepi.
Kemudian lamunan berubah seketika menjadi pertengkaran. Di saat membaui udara malam yang pekat oleh keringat, dari tubuh kota yang menguapkan asam laktat. Sesiangan diguyur harapan demi harapan yang gugur, menjadikan kota mudah sekali jatuh tersungkur.
Di kaca jendela, aku melihat majas-majas itu berkurang dua. Satu majas tentang betapa hiperbolanya rindu saat enggan mengaku, bagaimana sesungguhnya perasaannya terhadap waktu. Satu majas lagi tentang betapa metaforanya waktu, ketika membandingkan dirinya adalah pembuluh rindu.
Tersisa satu majas saja. Aku sematkan dalam sebuah tulisan retorika. Apabila kau mengaduk rindu dalam cawan waktu, maka sebenarnya kau sedang berada di ujung pendulum rusak yang berhenti di angka satu. Yaitu sebuah perjalanan rindu yang berakhir gagu.
Jakarta, 20 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H