Saya berencana memplagiasi birunya langit hari ini lalu mengadopsinya sebagai presentasi ketika berhadapan dengan senja nanti yang pasti tergugu kehilangan matahari.
Saya akan sampaikan kisah-kisah perjalanan awan yang di musim hujan juga seringkali merasa kehilangan. Terhadap berbagai kesimpulan bahwa hujan adalah anak-anaknya yang wajib dijatuhkan karena sangat dibutuhkan. Oleh guludan tanah yang nampak sedemikian cemas tak sanggup memberikan panenan. Kepada para petani yang rela menghibahkan diri kepada sunyi agar bisa menumbuhkan padi-padi.
Seperti sekarang ini. Kepala dan tenggorokan serasa dihunjam percikan api. Panas memang tidak membakar, namun cukup untuk membuat telinga saya pengar. Beredar kabar katanya kerinduan adalah upaya makar. Dari keterbelakangan hati yang kekurangan asupan mimpi. Terlalu bersandar pada realita yang mencengkeram sekuat naga. Sekuat dongeng-dongeng viking di negeri skandinavia.
Ternyata, memplagiasi langit biru tidak semudah menumbuhkan terumbu di lautan yang porak poranda. Semua upaya dihadang oleh cuaca. Dengan mengutus gumpalan mega dan segala sekutunya. Menghalangi pandangan mata.
Apalagi ini adalah kota yang berbelantara menara-menara kaca. Saya tenggelam di tengah kepungan udara mematikan. Dari asap knalpot dan segala macam residu pabrikan.
Tapi karena ini semua demi rindu. Biarlah saya mengalah dengan gagah. Berdiri di teriknya kekacauan, menggambar birunya langit yang tersenyum mengancam, memberikan peringatan dini tentang; plagiasi rindu di langit biru tak akan pernah berarti, jika saya tidak menyertainya dengan ketulusan hati.
Jakarta, 13 Agustus 2019