Aku rasa, malam ini dunia sedang berdansa. Bersama suara-suara yang menimbulkan gema di mana-mana. Di lembah yang kedinginan, pantai yang kepanasan, hingga angkasa yang sampai lupa menyajikan perjalanan bintang-bintang.
Suara-suara yang berasal dari jutaan laring. Namun hanya menuju ke satu tempat yang hening. TempatNya mengawasi peperangan yang tak pernah berhenti, kelaparan yang terus menjadi, dan saling tikam yang memutus sekian banyak urat nadi.
Dari orang-orang yang diciptakannya untuk berdamai dalam badai. Dan bukan malah membadaikan keinginan baku tikai. Demi sesuatu yang kadangkala abstrak. Setelah logika yang sesungguhnya berusaha keras mengekstrak.
Berebut minyak bumi, mimpi-mimpi, dan ribuan ambisi tentang kejayaan yang sebenarnya telah lama basi.
----
Ada perayaan. Atas pengorbanan. Ketika orang-orang mengucurkan darah di tanah. Lalu membagi-bagikan kegembiraan akbar. Untuk mereka yang sehari-harinya hanya sanggup memandangi dengan mata lapar. Rasa manis dari sepotong kecil daging, mengunyahnya, lalu berucap terimakasih kepada Ibrahim.
Ada sukacita. Di malam ketika dunia sedang berdansa. Mengingat hikayat dahsyat Ismail kecil. Ketika dengan matanya yang mungil tak berkedip menatap kematian hendak bertamsil. Sebelum datang seekor domba, yang mengambil alih peran utama.
----
Tengah malam telah memulangkan masa. Namun di mana-mana, suara-suara tetap bergema dengan nada yang sama. Menyebut berulang-ulang namaNya. Dengan bibir dan lidah yang fasih melafalkan ejaan Esa.
Bogor, 11 Agustus 2019
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI