Mohon tunggu...
Mim Yudiarto
Mim Yudiarto Mohon Tunggu... Buruh - buruh proletar

Aku hanyalah ludah dari lidah yang bersumpah tak akan berserah pada kalah....

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Puisi | Menyalakan Lampu

9 Agustus 2019   17:13 Diperbarui: 9 Agustus 2019   17:18 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di suatu senja, di sebuah tempat yang pernah memperkenalkan aku dengan cemara yang kesepian, kamboja yang sendirian, dan angin dingin yang berjatuhan dari pegunungan, aku melukis langit yang dipenuhi suluran mega, namun tanpa tanda-tanda hujan akan tiba agar bisa menyeraki malam yang berbintang seadanya.

Ini adalah beranda tempat aku menjadi utusan kerajaan hati yang paling tersembunyi. Di sini aku bermimpi tanpa harus tertidur, mati tanpa harus gugur, dan menyepi tanpa mesti membaui aroma melati.

Manakala langit berubah pias lantas tergesa-gesa melenyap dalam kesenyapan tak berbekas, aku masih mengikat beranda ini dalam rangkaian kata yang enggan berhenti. Sebuah puisi, atau beberapa sajak yang membunuh dirinya sendiri. Dalam samarnya arti.

Kegelapan mulai menampakkan raut muka. Suara-suara menyusup masuk keliman kebaya merah tembaga yang dikenakan senja. Di sebuah tempat yang dinamakan beranda. Saat waktu mengakhiri puasa gagu. Melantunkan adzan di surau-surau yang mulai menyalakan lampu.

Bogor, 9 Agustus 2019

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun