Dengan kematian cahaya ini,
apakah kau bisa sebentar saja pergi
dari kegaduhan sosial media
dan perburuan lini masa
terhadap hidupmu yang nyaris seharian tergadai
oleh segala kemolekan tubuh gawai?
Dengan kematian cahaya ini,
apakah mungkin kau melangkah keluar halaman
lalu bermain lompat tali dan kejar-kejaran
bersama kawan sepermainan
meninggalkan sejenak
otakmu yang memberontak
setelah terus-terusan dijejali kode biner yang beronak?
Dengan kematian cahaya ini,
apakah kau tetap meyakini
teknologi adalah separuh nyawa
menggantikan doa-doa
dalam pencarian tak berkesudahan
akan keberadaan Tuhan?
Dengan kematian cahaya ini,
apakah keramaian perbincangan
di setiap kali kau sarapan
menggiring hidupmu sesepi kuburan
lalu kau berniat bunuh diri
dengan menusuk jantungmu yang berdetak hanya demi sunyi?
Dari semua itu,
apakah sekarang kau merasa lebih hidup dari zombi
yang sebelumnya mengurung sebagian besar hati
dalam layar kecil dan besar sekian inci
kemudian kau berlari, menjemput mimpi
di tengah-tengah sengatan matahari
tanpa sempat lagi
dirasuki permusuhan dan dengki?
Aku akan menjawab iya
sebaiknya kaupun iya
jika tidak, maka kau tak akan pernah menjadi majikan
atas hidupmu sendiri yang selama ini menjadi tawanan
dari peradaban yang lintang pukang berlarian
Palangkaraya, 5 Agustus 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H