Garis langit kita sama. Kita hidup di bawah ketentuannya. Meski kau mendirikan rumah di atas bukit yang tinggi, sementara aku di ngarai yang sunyi, kita tetap sama-sama didatangi mimpi. Mungkin pesannya berbeda, namun tetap di ruang bawah sadar, yang kurang lebih berukuran sama.
Ufuk kita ada di timur. Walau kau menghadap ke barat, dan aku menatap arah selatan, tapi matahari tetap saja bertamu di jam yang serupa, di beranda kita.
Senja kita tenggelam di horison yang bersisian. Kalaupun kau sibuk memandangi lautan, sedangkan aku menunduk ditatap oleh pegunungan, kita tetap berada di jarak pandang, cakrawala yang pelan-pelan menghilang.
Aku dan kau menyiangi kegelapan di belukar malam. Kita sama-sama mengagumi bintang, tak peduli apakah ramalan rasi membelah kita dalam sekian golongan, tapi kita tetap dalam satu rombongan. Orang-orang yang kelak akan pulang.
Karena itu aku membiarkanmu. Memelihara waktu. Dalam keramba. Di sungai-sungai yang tak pernah surut alirannya.
Dan aku, kau biarkan. Menjadi hujan. Di sisi lain pelataran.
Lalu kita akan bersua. Saling bertabik sapa.
Di muara laut yang sama.
Palangkaraya, 4 Agustus 2019
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H